Jumat, 18 Desember 2009

GRUNGE : SEBAGAI SUBKULTUR DAN GAYA

Saya tidak begitu tahu segalanya mengenai sejarah masuknya Grunge ke Indonesia atau siapa yang pertama kali mengusung bendera Grunge di tanah air ini. Nama TOILET SOUND muncul di benak saya dengan pertimbangan bahwa mereka adalah band Grunge dari Jakarta yang sering manggung di POSTER Café tahun 1996, dimana pada saat itu sangat sedikit band pengusung Grunge semacam mereka bisa gigs disandingkan dengan band-band Underground Indonesia generasi pertama seperti Brain The Machine, Bloody Gore, Jepit Rambut, Dead Pits, Rumah Sakit, dan lain-lain yang sudah getol pentas di POSTER café.

Tapi saya mohon maaf sebesar-besarnya bahwa saya tidak akan mengulas siapa-siapa para “pendekar” Grunge, disini saya hanya akan membahas segi antropologi musik Grunge saja. Kajian tentang cara mengenali suatu budaya dari komunitas tertentu dan menghubungkannya dengan kehidupan sosial masing-masing individu yang berpengaruh juga terhadap komunitas Grunge Indonesia.

Kita tahu Grunge itu memiliki karakteristik gaya yang tidak jauh berbeda dengan subkultur lainnya (terkesan urakan). Jeans bolong, flannel, sepatu kets, dan rambut panjang yang jarang dikeramas. Tapi sebenarnya Grunge justru lahir karena kemuakan generasi muda terhadap gaya. Dimulai sejak akhir tahun 1980-an, para generasi muda dari Seattle Sound merombak segala bentuk gaya menjadi sesuatu yang “tak bergaya” sama sekali. Terkesan menjijikan karena teramat kotor dan jauh dari segala bentuk yang “cemerlang” apalagi mewah. Jika analogi tersebut murni adanya, lalu mengapa saat ini di era 20 tahun telah berlalu, dimana flannel telah menjadi suatu gaya yang usang, anak-anak Grunge masih memakai segala atribut tersebut? Bagaimana jika kita lebih menitikberatkan pada yang “terkesan menjijikan karena teramat kotor dan jauh dari segala bentuk yang “cemerlang” apalagi mewah” itu? Flannel, jeans bolong, sepatu kets sudah tidak lagi terkesan urakan sebagai akibat komoditas bisnis di bidang fashion yang telah “menjual” ke-grungy-an Seattle Sound.

Akar permasalahan yang sering dibicarakan mengenai musik independen tidak akan jauh-jauh dari persoalan tentang gaya/fashion. Saya juga agak terganggu dengan orang-orang yang selalu mempertanyakan kenapa gaya atau fashion itu terkesan dipentingkan dalam pergerakan subkultur. Ok, saya ajak kalian untuk menilik tulisan Dick Hebdige dari bukunya yang berjudul “Asal-Usul dan Ideologi Subkultur Punk” (Subculture ; The Meaning Of Style. Routledge, London dan New York, 1999, Cetakan XIII. Diterbitkan pertama kali oleh Methuen & Co. Ltd. 1979). Ya, mungkin agak terkesan aneh kenapa saya lebih memilih referensi dari buku-buku Punk, tak lain karena sesungguhnya semua kode etik Do It Yourself memang lahir karena Punk. Dalam buku tersebut diatas dikatakan bahwa gaya memiliki tujuan dan karakteristik tertentu, yaitu :
1. GAYA SEBAGAI KOMUNIKASI INTENSIONAL. Mengartikulasikan kode dan praktik spesifik.
2. GAYA SEBAGAI SEBAGAI BRICOLAGE. Menegaskan perbedaan subkultur dari formasi budaya yang lebih ortodoks. Mengacu pada sarana dengan apa pikiran nir-terpelajar, nir-teknis dari apa yang kita sebut manusia “primitif” menanggapi dunia sekitarnya. Proses ini memakai “sains konkret” (sebagai lawan dari sains “beradab” kita yang “abstrak”), jauh dari tak memiliki logika, ternyata ia disusun dengan saksama dan cermat, dengan menggolong-golongkan dan menata rincian remeh di dunia fisik yang demikian melimpah ruah itu menjadi struktur, dengan memakai sarana “logika” yang bukan milik kita sendiri. Struktur ini, “diimprovisasikan” atau dibuat-buat (ini terjemahan kasar dari bricoleur) sebagai tanggapan ad hoc terhadap suatu lingkungan. Ia kemudian berperan dalam menyusun homologi dan analogi antara yg disusun alam dan yang disusun masyarakat, dan dgn sangat memuaskan “menjelaskan” dunia ini dan membuatnya dapat dihuni.
3. GAYA MEMBERONTAK : GAYA “MENJIJIKKAN”. Mengekspresikan penyimpangan dengan pengertian proletarian yang sepadan.
4. GAYA SEBAGAI HOMOLOGI. Melukiskan kecocokan simbolik antara nilai-nilai dan gaya hidup suatu kelompok, pengalaman subjektif serta forma musik yang dipakai untuk mengekspresikan atau memperkuat kepedulian pokok.
5. GAYA SEBAGAI PRAKTIK SIGNIFIKASI. Menguak sejumlah makna tersembunyi yang baku, dibuang demi gagasan polisemi di mana masing-masing teks dipandang membangkitkan kisaran makna yang tak terbatas kemungkinannya.

Sedangkan Simbolik adalah bagian besar bahasa yang menamai dan menghubungkan segala sesuatu, inilah kesatuan dari KOMPETENSI SEMANTIK dan SINTATIK yang memungkinkan tampilnya komunikasi dan nalar.

Menilik dari pembahasan dalam buku tersebut bahwa gaya/fashion juga merupakan salah satu senyawa penting dalam berekspresi sehingga kita dapat mengenali maksud dan tujuan dari yang diterapkan seorang individu maupun kelompok. Musik dan fashion tidak akan pernah lepas satu sama lain. Sebab keduanya merupakan pengejewantahan kebebasan berekspresi dalam segi estetika maupun adab.

Grunge lebih dekat kesamaannya dengan ciri khas Punk, memiliki gambaran „menjijikan“ masing-masing yang bagi sebagian besar masyarakat tidak nyaman untuk dipandang. Disini kita berhadapan dengan gaya sebagai pemberontakan terhadap sistem yang menyimpang, bertujuan untuk merombak segala kemapanan yang bodoh dan menindas. Generasi muda sudah bosan dengan segala atribut hasil buatan pabrik dimana corak budayanya berbau proletarian/pemaksaan dan menuntut mereka untuk seragam. Bosan dengan keadaan yang itu-itu saja dan berharap dengan melakukan perubahan akan membuat hidup mereka menjadi lebih nyaman untuk dijalani.

Meskipun ada hubungan erat, integritas kedua forma ini tetap dipertahankan dengan cermat. Jauh dari meniru forma lain dan cenderung berkembang menjadi antitesis langsung dari sumber-sumbernya yang nyata. Namun, cara kedua forma ini dipisahkan dengan ketat, seolah-olah hendak membawa kita kepada identitas tersembunyi, yang pada gilirannya dapat dipakai untuk menjelaskan pola interaksi. Grunge dan Punk secara metaforis dapat diperluas ke isu ras dan hubungan ras yang lebih besar sehingga terjadi krisis identitas, berkaitan dengan kontradiksi dan ketegangan lebih umum yang menghalangi berkembangnya dialog terbuka antar kultur.

Ketika suatu musik dan aneka subkultur yang didukung atau reproduksi mengalami kekakuan dan dapat dikenali polanya, terciptalah subkultur baru yang membutuhkan mutasinya dalam bentuk musik. Mutasi ini baru terjadi ketika overdeterminasi musik Seattle Sound merusak struktur musik yang telah ada dan mendesak berbagai unsurnya ke suatu figurasi baru, sebagai contoh yaitu ketika Nirvana sukses menggeser posisi King Of Pop Michael Jackson di peringkat teratas industri musik dunia pada tahun 1991, budaya Pop yang merajai tahun 80an pun menjadi mati dan diganti dengan wajah Grunge sebagai mutasi untuk figurasi baru tersebut : celana sobek, sepatu kets (Converse), rambut acak yang kesemuanya merupakan ciri khas Kurt Cobain, menjadi trend di kalangan anak muda dunia.

Grunge dengan demikian termasuk ke dalam forma ekspresif sebagai bentuk resistensi di mana kontradiksi yang dialami maupun penolakan terhadap ideologi yang berkuasa secara tak langsung direpresentasikan lewat gaya. Melahirkan tampilan dan sound baru yang menjadi umpan balik bagi industri-industri yang sesuai (forma komoditas). Seperti dicatat John Clark : „penyebar luasan gaya pemuda dari subkultur menuju ke pasar fashion bukan sekedar proses kultural, melainkan suatu jejaring atau jenis baru institusi komersial dan ekonomi. Toko-toko rekaman berskala kecil, perusahaan rekaman, butik atau perusahaan produksi yang dikelola satu dua perempuan – kapitalisme versi artisan ini, alih-alih fenomena yang berlaku umum dan tak khas, menjadi konteks dialektika manipulasi komersial tersebut.“

5 komentar: