Jumat, 18 Desember 2009

GRUNGE : SEBAGAI SUBKULTUR DAN GAYA

Saya tidak begitu tahu segalanya mengenai sejarah masuknya Grunge ke Indonesia atau siapa yang pertama kali mengusung bendera Grunge di tanah air ini. Nama TOILET SOUND muncul di benak saya dengan pertimbangan bahwa mereka adalah band Grunge dari Jakarta yang sering manggung di POSTER Café tahun 1996, dimana pada saat itu sangat sedikit band pengusung Grunge semacam mereka bisa gigs disandingkan dengan band-band Underground Indonesia generasi pertama seperti Brain The Machine, Bloody Gore, Jepit Rambut, Dead Pits, Rumah Sakit, dan lain-lain yang sudah getol pentas di POSTER café.

Tapi saya mohon maaf sebesar-besarnya bahwa saya tidak akan mengulas siapa-siapa para “pendekar” Grunge, disini saya hanya akan membahas segi antropologi musik Grunge saja. Kajian tentang cara mengenali suatu budaya dari komunitas tertentu dan menghubungkannya dengan kehidupan sosial masing-masing individu yang berpengaruh juga terhadap komunitas Grunge Indonesia.

Kita tahu Grunge itu memiliki karakteristik gaya yang tidak jauh berbeda dengan subkultur lainnya (terkesan urakan). Jeans bolong, flannel, sepatu kets, dan rambut panjang yang jarang dikeramas. Tapi sebenarnya Grunge justru lahir karena kemuakan generasi muda terhadap gaya. Dimulai sejak akhir tahun 1980-an, para generasi muda dari Seattle Sound merombak segala bentuk gaya menjadi sesuatu yang “tak bergaya” sama sekali. Terkesan menjijikan karena teramat kotor dan jauh dari segala bentuk yang “cemerlang” apalagi mewah. Jika analogi tersebut murni adanya, lalu mengapa saat ini di era 20 tahun telah berlalu, dimana flannel telah menjadi suatu gaya yang usang, anak-anak Grunge masih memakai segala atribut tersebut? Bagaimana jika kita lebih menitikberatkan pada yang “terkesan menjijikan karena teramat kotor dan jauh dari segala bentuk yang “cemerlang” apalagi mewah” itu? Flannel, jeans bolong, sepatu kets sudah tidak lagi terkesan urakan sebagai akibat komoditas bisnis di bidang fashion yang telah “menjual” ke-grungy-an Seattle Sound.

Akar permasalahan yang sering dibicarakan mengenai musik independen tidak akan jauh-jauh dari persoalan tentang gaya/fashion. Saya juga agak terganggu dengan orang-orang yang selalu mempertanyakan kenapa gaya atau fashion itu terkesan dipentingkan dalam pergerakan subkultur. Ok, saya ajak kalian untuk menilik tulisan Dick Hebdige dari bukunya yang berjudul “Asal-Usul dan Ideologi Subkultur Punk” (Subculture ; The Meaning Of Style. Routledge, London dan New York, 1999, Cetakan XIII. Diterbitkan pertama kali oleh Methuen & Co. Ltd. 1979). Ya, mungkin agak terkesan aneh kenapa saya lebih memilih referensi dari buku-buku Punk, tak lain karena sesungguhnya semua kode etik Do It Yourself memang lahir karena Punk. Dalam buku tersebut diatas dikatakan bahwa gaya memiliki tujuan dan karakteristik tertentu, yaitu :
1. GAYA SEBAGAI KOMUNIKASI INTENSIONAL. Mengartikulasikan kode dan praktik spesifik.
2. GAYA SEBAGAI SEBAGAI BRICOLAGE. Menegaskan perbedaan subkultur dari formasi budaya yang lebih ortodoks. Mengacu pada sarana dengan apa pikiran nir-terpelajar, nir-teknis dari apa yang kita sebut manusia “primitif” menanggapi dunia sekitarnya. Proses ini memakai “sains konkret” (sebagai lawan dari sains “beradab” kita yang “abstrak”), jauh dari tak memiliki logika, ternyata ia disusun dengan saksama dan cermat, dengan menggolong-golongkan dan menata rincian remeh di dunia fisik yang demikian melimpah ruah itu menjadi struktur, dengan memakai sarana “logika” yang bukan milik kita sendiri. Struktur ini, “diimprovisasikan” atau dibuat-buat (ini terjemahan kasar dari bricoleur) sebagai tanggapan ad hoc terhadap suatu lingkungan. Ia kemudian berperan dalam menyusun homologi dan analogi antara yg disusun alam dan yang disusun masyarakat, dan dgn sangat memuaskan “menjelaskan” dunia ini dan membuatnya dapat dihuni.
3. GAYA MEMBERONTAK : GAYA “MENJIJIKKAN”. Mengekspresikan penyimpangan dengan pengertian proletarian yang sepadan.
4. GAYA SEBAGAI HOMOLOGI. Melukiskan kecocokan simbolik antara nilai-nilai dan gaya hidup suatu kelompok, pengalaman subjektif serta forma musik yang dipakai untuk mengekspresikan atau memperkuat kepedulian pokok.
5. GAYA SEBAGAI PRAKTIK SIGNIFIKASI. Menguak sejumlah makna tersembunyi yang baku, dibuang demi gagasan polisemi di mana masing-masing teks dipandang membangkitkan kisaran makna yang tak terbatas kemungkinannya.

Sedangkan Simbolik adalah bagian besar bahasa yang menamai dan menghubungkan segala sesuatu, inilah kesatuan dari KOMPETENSI SEMANTIK dan SINTATIK yang memungkinkan tampilnya komunikasi dan nalar.

Menilik dari pembahasan dalam buku tersebut bahwa gaya/fashion juga merupakan salah satu senyawa penting dalam berekspresi sehingga kita dapat mengenali maksud dan tujuan dari yang diterapkan seorang individu maupun kelompok. Musik dan fashion tidak akan pernah lepas satu sama lain. Sebab keduanya merupakan pengejewantahan kebebasan berekspresi dalam segi estetika maupun adab.

Grunge lebih dekat kesamaannya dengan ciri khas Punk, memiliki gambaran „menjijikan“ masing-masing yang bagi sebagian besar masyarakat tidak nyaman untuk dipandang. Disini kita berhadapan dengan gaya sebagai pemberontakan terhadap sistem yang menyimpang, bertujuan untuk merombak segala kemapanan yang bodoh dan menindas. Generasi muda sudah bosan dengan segala atribut hasil buatan pabrik dimana corak budayanya berbau proletarian/pemaksaan dan menuntut mereka untuk seragam. Bosan dengan keadaan yang itu-itu saja dan berharap dengan melakukan perubahan akan membuat hidup mereka menjadi lebih nyaman untuk dijalani.

Meskipun ada hubungan erat, integritas kedua forma ini tetap dipertahankan dengan cermat. Jauh dari meniru forma lain dan cenderung berkembang menjadi antitesis langsung dari sumber-sumbernya yang nyata. Namun, cara kedua forma ini dipisahkan dengan ketat, seolah-olah hendak membawa kita kepada identitas tersembunyi, yang pada gilirannya dapat dipakai untuk menjelaskan pola interaksi. Grunge dan Punk secara metaforis dapat diperluas ke isu ras dan hubungan ras yang lebih besar sehingga terjadi krisis identitas, berkaitan dengan kontradiksi dan ketegangan lebih umum yang menghalangi berkembangnya dialog terbuka antar kultur.

Ketika suatu musik dan aneka subkultur yang didukung atau reproduksi mengalami kekakuan dan dapat dikenali polanya, terciptalah subkultur baru yang membutuhkan mutasinya dalam bentuk musik. Mutasi ini baru terjadi ketika overdeterminasi musik Seattle Sound merusak struktur musik yang telah ada dan mendesak berbagai unsurnya ke suatu figurasi baru, sebagai contoh yaitu ketika Nirvana sukses menggeser posisi King Of Pop Michael Jackson di peringkat teratas industri musik dunia pada tahun 1991, budaya Pop yang merajai tahun 80an pun menjadi mati dan diganti dengan wajah Grunge sebagai mutasi untuk figurasi baru tersebut : celana sobek, sepatu kets (Converse), rambut acak yang kesemuanya merupakan ciri khas Kurt Cobain, menjadi trend di kalangan anak muda dunia.

Grunge dengan demikian termasuk ke dalam forma ekspresif sebagai bentuk resistensi di mana kontradiksi yang dialami maupun penolakan terhadap ideologi yang berkuasa secara tak langsung direpresentasikan lewat gaya. Melahirkan tampilan dan sound baru yang menjadi umpan balik bagi industri-industri yang sesuai (forma komoditas). Seperti dicatat John Clark : „penyebar luasan gaya pemuda dari subkultur menuju ke pasar fashion bukan sekedar proses kultural, melainkan suatu jejaring atau jenis baru institusi komersial dan ekonomi. Toko-toko rekaman berskala kecil, perusahaan rekaman, butik atau perusahaan produksi yang dikelola satu dua perempuan – kapitalisme versi artisan ini, alih-alih fenomena yang berlaku umum dan tak khas, menjadi konteks dialektika manipulasi komersial tersebut.“

MUSIK & SIASAT ADUDOMBA

Pergerakan anti-anti suatu genre musik notabene lebih banyak menggunakan siasat adudomba seperti strategi para penjajah Belanda. Selain hanya membuang waktu sia-sia, cara tersebut tidak efektif dalam kemajuan seni musik apalagi jika direalisasikan oleh sekelompok kecil individu yang tidak tahu apa-apa dampak dari tindakannya. Awalnya memang murni bertujuan untuk memusnahkan suatu kekuatan komunitas musik tertentu, namun dengan berbagai pertimbangan dimana genre yang ditentangnya adalah genre yang berpengaruh besar dalam ruang lingkup musik kebanyakan, maka otomatis apa yang menjadi kekuatan yang ditentang justru akan semakin kuat, menjadi pemersatu tanpa melihat derajat individu apapun. Seperti hal yang disengaja. Disinilah kita berbicara mengenai provokasi.
Apa tujuan provokasi? Saya tidak tahu tepatnya bagaimana karena saya tidak berpengalaman memiliki profesi sebagai pengadudomba. Sejauh yang saya tahu, provokasi musik selalu terjadi jika suatu sistem dalam komunitas musik tertentu berada dalam pemikiran-pemikiran independen yang sedang berjalan kaku, sarat akan krisis identitas dan mengalami stagnasi. Jadi dalam arti provokasi itu memang hal yang disengaja untuk menghidupkan kembali apa yang telah usang atau juga hal yang disengaja untuk kepentingan kelompok musik tertentu, demi kebesaran nama.
Jika suatu kelompok/komunitas musik tertentu besar hanya karena sebuah wacana provokasi, hal itu belum tentu mengindahkan estetika seni musik yang ada. Semua berjalan hanya demi kepentingan pribadi dan kelompok. Demi kepentingan internal yang menguntungkan sepihak. Seperti yang dikatakan kawan saya, Mas YY, semua hanya bertujuan untuk “jualan”. Provokasi bagaikan modal seorang investor yang kehabisan ide untuk menguntungkan usahanya selain dengan cara mengadudomba.
Provokasi juga termasuk ke dalam manifesto radikal yang dilancarkan atas nama misi kepentingan mendesak terutama jika kita berbicara mengenai suatu persaingan yang tidak sehat antara satu individu dengan individu yang lain. Meski individu tersebut berada dalam satu jalur yang sama, tidak menutup kemungkinan adanya kompetisi untuk berkuasa alias oligarki. Penyebaran isu yang tidak jelas dan provokatif serta penyalahgunaan kesewenangan menjadi senjata utama.
Seni musik akan kehilangan kaidahnya jika masyarakat lebih memihak prinsip keberadaan ideologi. Jika tujuan provokasi sebatas kepentingan uang, maka kaidah musik secara tidak langsung telah disingkirkan sebab keberhasilan yang diraih hanya berada dalam ruang lingkup ideologi yang cacat. Resiko terbesar tahap ini adalah lahirnya kelompok-kelompok atau komunitas musik yang membangun ideologi baru dimana visi dan misi mereka tidak berlandaskan kepada seni musik yang hakiki. Representatif “pemikir” dari sebuah kelompok yang diakui atau tidak, mengkonstruksi berbagai teori dan ideologi yang tidak ada sangkut pautnya dengan seni musik. Hanya demi uang. Bisa dibayangkan jika kelompok-kelompok tersebut yang berkuasa, musik hanya akan menjadi ajang persaingan pasar belaka tanpa mengindahkan estetika seni yang murni.
Oleh sebab itulah, jika kita masih ingin memiliki kebebasan dalam berkarya sebagaimana menjalankan estetika seni musik yang murni, sebaiknya kita tidak mendukung apapun pergerakan provokasi yang dicanangkan bersama isu-isu yang tidak jelas. Provokator manapun tidak dapat mengafiliasikan diri mereka dengan perjuangan dalam upayanya untuk meraih dominasi maupun menciptakan tatanan komunitas musik yang baru. Kita adalah seniman yang bebas. Dan kebebasan itu semakin lama semakin mahal. Gunakan waktu sebaik-baiknya untuk berkarya selagi masih ada kesempatan.

HANK HARISSON

Hank Harisson adalah ayah kandung dari “queen of grunge” Courtney Love dan bekas roadienya The Grateful Dead. Mungkin di ranah musik tanah air sangat jarang sekali yang tahu sapa sih Hank Harisson itu. Orang kebanyakan hanya tahu Courtney Love dan band Hole-nya. Namun, dibalik semua kesuksesan C-Love, ternyata sang ayah banyak mengambil bagian penting sepanjang sejarah grunge.
Hank Harisson adalah seorang penulis dan penerbit, dimana ia sangat tertarik dengan Sejarah Abad Pertengahan, Suku-Suku, Arkeologi Neolitik, Rasi Bintang, Ilmu Hitung Astronomi, dan Geometri. Ia mulai menulis pertama kali tentang psikologi manusia dan binatang ketika masih duduk di bangku sekolah menengah atas pada tahun 1962. Ia pula yang mendirikan Arkives Press pada tahun 1967 dan menjadi tamu pada berbagai acara TV dan radio baik nasional maupun internasional.
Hank adalah sumber penting dalam film dokumentari Kurt & Courtney yg kontroversial itu (keluaran British Film karya Nick Broomfield). Ia juga turut serta dalam buku Who Killed kurt Cobain? (1997) karya Max Wallace dan Queen Of Noise (1996) karya Melissa Rossi. Dan ia sendiri pun menulis buku Kurt Cobain : Beyond Nirvana (juga hadir dalam bentuk CD) dimana buku tersebut ditulis olehnya pertama kali bertepatan dengan kelahiran cucunya, Frances Bean pada tahun 1992. Buku tersebut ditulis dengan gaya khas penulis era 1950an, sebagian besar membahas tentang apapun yang berhubungan dengan tragedi bunuh diri Kurt (ketika meneruskan proyek menulisnya tahun 1994 sebab tak pernah kunjung selesai) serta topik mengenai masalah yg di hadapi generasi muda era Cobain. Buku tersebut terbit pertama kali tahun 2000 dan menyumbangkan hasil penjualan buku tersebut kepada United Animal Nations dan berbagai macam asosiasi serupa.
Sang anak gadis kecilnya (baca: Courtney Love) yg telah tumbuh dewasamengklaim dirinya tak pernah memiliki orangtua. Hank pun sangat sadar diri bahwa ketergantungan anaknya terhadap drugs bisa membahayakan sang cucu. Hingga pada beberapa tahun yg lalu, tepatnya 2007, Hank bersama dengan Leland Cobain (kakeknya Kurt) mencoba mengambil Frances dari asuhan Courtney. Ditambah dengan penjelasan dari Hank dan Leland bahwa keduanya belum pernah bertemu Frances selama hampir 14 tahun. Namun, hingga kini gak ada penelusuran lebih lanjut tentang hal itu. Sepanjang hidup seorang Hank Harisson adalah perjuangan mencari kebenaran di berbagai bidang dan sendi-sendi kehidupan. Dia juga sampai saat ini masih membantu Tom Grant (detektif yg pernah di sewa Courtney untuk melacak keberadaan Kurt sebelum ditemukan tewas) melakukan investigasi kematian Kurt Cobain yang penuh misteri. Hank adalah salah satu yg yakin bahwa Kurt dibunuh (untuk informasi mengenai Tom Grant selengkapnya lihat di http://www.justiceforkurt.com

INTERVIEW WITH NAVICULA

Berikut ini adalah hasil interview antara saya dengan Robi Navicula yang terdapat dalam FEED THE NOISE BACK (Zine-nya Sukabumi Undergrunge). Tidak sempat terjual secara luas. Bagi yang belum mendapatkan zine FTNB dan ingin membaca hasil interview tersebut bisa dilihat disini.

Navicula adalah salah satu band Grunge dari Bali yang musiknya sarat dengan nuansa etnik Bali. Gw sendiri terkagum-kagum, ko bisa ya genre beraliran “kotor” seperti Grunge bisa nyambung sama nuansa etnik? Lebih jelasnya sih mungkin kalian mesti denger sendiri deh, tapi bersyukurlah buat org2 yg udah tau sama band pengusung semangat Damai, Cinta dan Kebebasan ini. Gak akan ada bosan2nya kita denger lagu2 mereka yg udah rampung 5 full album dan berbagai kompilasi sejak tahun 1996. Robi dan Dankie, adalah mereka yang menjadi motor di balik lahirnya Navicula. Setelah mengalami pergantian personil, saat ini yg eksis adalah Robi (gitar n voc), Dankie (gitar), Made (bass), dan Gembull (drum). Ok, kita langsung aja!!

Mirantie (M) : hallo, gimana kabar kawan2 semua nih.. sapa yg jawab interview..
Robi (R) : Baik2 aja. Thanks. Saya Robi, di band saya vokalis dan gitar.

M : gimana perkembangan musik GRUNGE di Bali..
R : Yang dengerin masih banyak sih. Band post grunge ada beberapa yang aktif, seperti The Gotham, Spank Monera, Negative, dll. Navicula masih tetap sih menggaungkan grunge di scene lokal. Scene Bali, yang variatif ini, juga mendukung pergerakan kita.

M : Please tell us about kabar terkini dari Navicula dong..
R : Kita baru aja abis tur di Jateng, sejak bulan Mei (selama 5hari) dan lanjut Agustus (7hari). Total kita maen 10 gigs di 9 kota di Jogja, Solo, dan sekitarnya. Sekarang kita juga sedang recording album ke-6, moga2 akhir tahun selesai. Navicula juga ikut project kompilasi album Siaga Bencana Nasional, produksi LIPI dan Electrified records yang bakal rilis akhir agust ini. Ada total 14 band nasional yang ikut di dlmnya, seperti Naif, Netral, Mocca, Efek Rumah kaca, dll, dan kita. Juga, sekarang kita lagi garap website baru, hampir selesai.

M : NAVICULA itu artinya apaan sih, guys?¦
R : Nama itu kita ambil dari nama ganggang emas bersel satu dari buku Biologi. Berasal dari bahasa latin, yg artinya “kapal kecil”

M : Kalo sesi rekaman sedang break, biasanya pada ngapain aja..
R : Makan, ngopi, ngemil, nyelesaiin side job, urus rumah tangga,macem2. Nyari gigs juga jalan terus.

M : warna musik Navicula sarat dengan bebunyian aneh tuh, jarang sekali kita denger disini..
R : Hehehe!!sebenarnya ngga terlalu aneh kok. Semasih kedengaran enak dan cocok sama taste band, kita pake. Kita referensi musiknya macem2, jadi beberapa influence tsb yg kita masukin di musik kita.

M : Visi bermusik kalian..
R : Buat karya yang kita suka, sehingga kita juga enak maininnya. Kita bikin musik yang kuat karakternya dan musik ini aku pake sebagai media untuk menyampaikan pesan2, ide2 perubahan, dan semangat aktivisme yang ada di kepala. Ibaratnya, jurnalisme dengan media musik. Musik juga adalah bahasa yg universal, sehingga ini pas banget untuk pesan kita yang bersifat global.

M : gimana menurut kalian perkembangan musik Grunge tanah air..
R : Komunitasnya eksis dan loyal. Kita harap ini bisa jadi wadah kita untuk maju bersama dan mendukung satu sama lain. Grunge adalah musik yang keren cuma kita semua tahu kalau yang keren itu ngga tentu laku di Indonesia. Makanya komunitas ini mesti bahu-membahu bikin dia laku, hehehe.

M : band GRUNGE favorit dari Indonesia..
R : Ada beberapa, Cupumanik salah satunya.. Grunge yang sophisticated. Saya mengobrol beberapa kali dengan Che, vokalisnya, sepertinya pikiran kita nyambung.

M : dimana manggung yang menurut kalian paling asyik dan berkesan..
R : Tiap-tiap panggung ada kesannya sendiri2. Hmmm yang mana yang paling asik yahh ??? Ulang Tahunnya Jason Tedjasukmana di The Rock Cafe, Kemang-Jakarta.

M : yang paling bikin kesel kalo manggung..
R : Kita enjoy aja sih ma kondisi panggung dan crowd-nya karena kalo crowdnya ngga terlalu nyambung, kita cenderung ngga peduli tapi yang bikin ga enak hati kalo soundsystemnya batuk-batuk. (wuhehehe. Di komix aja Rob! –ED-)

M : udah pada berstatus merit nih??
R : Gembull (drum) dan Dankie(gitar) udah. Gembull udah punya anak 1, namanya Minibull. (Waduh..awas saingan lho.. hehehehe.. –ED-)

M : hal tergila yg pernah dilakukan penggemar Navicula..
R : Numpang gonta-ganti kendaraan(hitch-hike) dari Solo, hanya untuk nonton kita pas lagi maen di Eastern Promise cafe di Jakarta, tapi sialnya dia nyampe pas kita baru aja habis main, trus balik lagi ke Solo malam itu juga, karena saat itu lagi ujian kuliah. Tapi sekarang dia jadi salah satu street team kita untuk area Jateng. Namanya Bara a.k.a Gembel, vokalis band Grunge Optimistic Sound.

M : pernah gak sih antar personil ada perselisihan.. trus gimana solusi untuk membuat keadaan normal kembali..
R : Pasti ada, beda kepala beda isinya. Yahh cara pribumi-lah kekeluargaan, alias musyawarah untuk mufakat.

M : oya, kemaren Navicula tur ke jawa tengah ya, gimana kesannya tuh..
R : Asik. Kita banyak sekali dibantu sama rekan2 kita di sana. Oya untuk review turnya bisa buka www.myspace.com/naviculaba
li, ada review+photo+rekaman livenya juga.

M : kalo bikin lagu, biasanya yg muncul tuh lirik dulu atau musiknya dulu..?
R : Ngga tentu, ada yang musik dulu, atau sebaliknya. Ada yang langsung jadi aja pas jamming di studio.

M : menurut kalian kenapa sulit bagi band GRUNGE indonesia untuk masuk mainstream/major label..
R : Kemungkinannya ada sih tergantung targetnya kita aja. Grunge ngga kalah keren kok sama genre lainnya. Aku pribadi sih ngga terlalu peduli sama pengkotak-kotakkan genre. Tapi banyak genre ini yang ngga dianggap sama industri. Jadi, bukan salah genrenya dong, tapi salah industri berikut pasar hasil bentukan industri musik negara kita. Kalo udah gitu, berjuang di jalur indie aja, toh jalur indie bagiku adalah cara saat ini dan masa depan.

M : kegiatan personil Navicula di luar band..
R : Dankie full di musik, Gembul kerja di rumah produksi di Ubud, Made wiraswasta/buka warung sembako, aku kerja freelance untuk beberapa LSM lokal di Bali.

M : punya pengalaman gak seperti merasa bahwa "waduh, gw gak mungkin nge-band terus nih. Main band itu membosankan juga kadang2.."
R : Bagi kita musik/ngeband adalah rekreasi, malah bosannya kalo lagi kerja, dan pelariannya ke musik. Passion kita gede banget di musik bersyukur teman2 di band pada sepaham.

M : saat ini, lagu2 siapa sih yg paling sering kalian putar di waktu senggang..
R : Hmmm.macem2..tergantung mood dan sikon. Minggu2 ini aku lagi seneng muter album Era Vulgaris-nya Queen of the Stone Age, Odd Couple-nya Gnarls Barkley, dan 10,000days-nya Tool.

M : tertarik gak tuk jadi produser rekaman..
R : Mungkin Dankie tertarik. Dia lama kerja jadi sound engineer di studio rekaman dan ikutan di project band lain. Aku pernah disewa untuk jadi music director satu musisi dari California, tapi aku ngga betah bekerja dalam studio lama-lama. Tapi kalo jadi konseptor dan creative director aku suka.

M : kapan dong main ke daerah Jawa Barat lagi??
R : Pengen tuh!!undang2 kita dong kalo ada even

M : Harapan Navicula di masa depan, baik untuk band atau di luar band..
R : Bisa eksis menikmati dan mainin musik. Ingin menginspirasikan suatu perubahan di industri musik tanah air. Oh ya, and Global Peace, man! Fuck war.

M : Silahkan, Last word nih buat pembaca FEED THE NOISE BACK Zine..
R : Kutipan dari lagu Modern Mantra dari Album Beautiful Rebel (album ke-5 Navicula). “…(dia) inginkan kita ikut mereka, jaya kita bila tak terbawa, hey, jangan takut jadi berbeda!”

M : oya, terakhir kalo contact person kemana nih en diskografi Navicula ya!
R : Contact to Robi atau Lakota
email: navicula.bali@gmail.com
HP: 08123619603 (Robi)
HP: 08179743034 (Lakota)

Diskografi:
Album Penuh:
1. Self-Portrait
Produser: Navicula
Label: Mendung Troops
Rilis: 1999

2. K.U.T.A. (Keep Unity Thru Art)
Produser: Navicula & The Beat mag
Label: The Beat mag
Rilis: 2002

3. Navicore NeoRock Club (EP)
Produser: Navicula
Label: Navicula
Rilis: 2003

4. Alkemis
Produser Jan Djuhana & Navicula
Label: Sony Music Indonesia
Rilis: 2005

5. Beautiful Rebel
Produser: Navicula
Label: Electro Hell Records
Rilis: 2007

Album Kompilasi;
1. Underdog Society
Label: Underdog - Bali
Rilis: 1998

2. Total Feedback Grunge Compilation
Label: Total Feedback - Jakarta
Rilis: 2002

3. Not For You
Label: Rebel - Jakarta
Rilis: 2006

4. Skipped Tracks
Label: Trendsetter mag - Bali
Rilis: 2006

5. Noise vs Noise
Label: Blackmouse - Jakarta
Rilis: 2007

6. Raw & Rare
Label: Rolling Stone Indonesia - Jakarta
Rilis: 2007

7. ARS ~ Moshpit Mavericks
Label: The Blado Beatsmith
Rilis: 2007

M : C U Soon a.s.a.p!! Kita-kita selalu nunggu kabar terbaru Navicula en semoga sukses buat Navicula tuk bikin lagu2 GRUNGE yang kereeeeeen abeeees!!!!
R : Thanks to you too. Semoga sukses dan eksis terus di Feed the Noise Back!!